Tantangan Ditengah Keragamaan Budaya

Share it:
ad


Kita hidup di Indonesia dengan masyarakat yang majemuk, yang memiliki beraneka ragam budaya, agama, dan gaya hidup. Kita, sebagai orang "PERCAYA", termasuk di dalamnya. Itu tentunya tidak bisa disangkal. Toleransi harusnya menjadi kata kunci dalam hidup bersama ini.

Tantangan bagi orang Kita adalah bagaimana untuk tidak terjebak dalam fanatisme dan triumfalisme (menganggap tinggi ajaran agamanya dan memandang rendah ajaran agama lain). Alkitab memang mengatakan bahwa kita adalah umat pilihan, tapi kadang ada orang menganggap hal itu sebagai alasan untuk tidak mau bergaul dengan orang-orang sekitarnya bahkan merasa diri lebih benar. Ada juga yang memilih untuk tidak berbaur karena merasa sebagai ‘terang’ tidak boleh berbaur dengan ‘gelap’. Benarkah sikap seperti itu yang Tuhan kehendaki? 

Belajar dari Kristus




Yesus Kristus hidup dalam keberagaman kultur dan Ia sangat menghargainya. Sejak lahir, Yesus sudah berhadapan dengan keberagaman budaya. Saat dilahirkan, ada dua kelompok orang yang datang untuk menyembah-Nya, yakni para gembala dan orang Majus. Mengenai dua golongan ini, John R.W. Stott dalam "Memahami Isi Alkitab", mengatakan: "Para gembala itu adalah orang Yahudi, tidak terdidik, miskin; sedangkan para Majus adalah orang kafir, beradab, dan kaya." 

Lalu, pada saat berusia 12 tahun, Ia duduk di tengah-tengah para alim ulama yang tentunya memunyai keberagaman budaya, dan berdiskusi dengan mereka (Luk 2:46). Lalu pada usia 30 tahun -- usia Ia memulai pelayanan-Nya (Luk. 3:23), Yesus yang secara lahiriah adalah orang Yahudi dihadapkan dengan budaya-budaya raksasa saat itu, yaitu Yudaisme, Hellenisme, Romawi, dan bahkan dua golongan Yahudi sendiri (Hasidim dan Liberal). Yesus jelas berada di tengah keberagaman kultur, tetapi hal itu tidak membuatnya menutup diri dan bersikap acuh tak acuh. 

Kristus menghargai keragaman budaya



Alkitab mencatat dengan jelas bahwa Yesus bergaul dan berbaur dalam keanekaragaman budaya. Ia makan bersama orang-orang yang sering kali dikucilkan oleh bangsa Yahudi. Ia bergaul dengan orang Samaria, Yunani, Romawi, pemungut cukai, pelacur -- orang-orang yang dianggap pendosa. Ia bahkan menumpang di rumah seorang pemungut cukai (Luk. 19:5). Yesus tidak menghindari mereka, Ia malah mendekati mereka. Justru Ia berkata bahwa ‘terang’ itu harus bisa dilihat orang. Budaya atau agama berbeda jelas bukan untuk dihindari. 

Apa yang Harus Kita Lakukan?



Kita dipanggil untuk menjadi garam dan terang dunia (Mat. 5:13-14), termasuk dalam keberagaman di lingkungan tempat kita tinggal. Kita yang hidup di tengah keberagaman kultur harus meneladani yang Yesus lakukan pada masa-Nya. Kita hidup dalam keberagaman adalah fakta dan kita tidak perlu menyangkal atau bahkan menghapuskannya. Alih-alih menghindar, Kita seharusnya dapat memberi pengaruh di dalamnya. Caranya? Dengan menghidupi karakter Allah dalam kehidupan dan interaksi yang berlandaskan pada prinsip kasih. 

Pengaruh yang harus kita berikan pada sekitarnya adalah pada bagaimana ia menghidupi ajaran firman Tuhan. Sesuai teladan Kristus, Kita seharusnya tidak menolak keragaman, tapi kita juga tidak lantas menyamakan semua keberagaman itu. Ada budaya yang melihat dari cara pandang yang berlawanan dengan cara pandang Kristus, tentu saja kita tidak boleh mengikuti cara pandang itu. Kebenaran absolut bagi Kita adalah firman Allah. Itulah yang kita hidupi dan kita tunjukkan (bukan paksakan) pada orang lain.


Share it:

Inspirasi

Tips & Inspirasi

Post A Comment:

0 comments: